Menghadapi era new Normal, dimana sebagian besar distribusi vaksinasi Covid-19 telah diterima oleh masyarakat Indonesia tentu akan membawa harapan baru agar pandemi ini cepat berlalu. Meski demikian perhatian dan usahan dalam menekan angka penyebaran Covid-19 sendiri tentu jangan sampai berkurang. Belajar dari beberapa negara yang mengalami masa kritis pandemi pada gelombang kedua bahkan ketiga, Indonesia tentu berharap agar tidak terjadi di negara kita. Oleh karena itu dalam menekan penyebaran covid -19 pemerintah telah memberikan himbauan untuk dapatmelakukan protokol kesehatan dengan melaksanakan 5 m (menggunakan masker, mencuci tangan , menjaga jarak, menghindari kerumunan , mengurangi mobilisasi) serta melakukan vaksinasi adalah sebuah upaya untuk menekan angka penularan dan penyebaran virus Covid-19.
Selain itu langkah yang tidak kalah penting dan memiliki peran yang signifikan dalam penanganan serta menekan penyebaran COVID-19 adalah dengan melakukan 3T yaitu testing (melakukan tes COVID-19), tracing (penelusurankontak erat) dan treatment (perawatan pasien COVID-19). Terdapat beberapa jenis tes untuk membantu dalampenegakan diagnosis COVID-19. Sampai saat ini yang menjadi baku emas untuk penegakan diagnosis adalah tesmolekular (NAAT/ Nucleic Acid Amplification Test). Tes ini mendeteksi materi genetik virus (RNA virus) dan terdapatbeberapa jenis tes yang termasuk di dalam NAAT, salah satunya adalah RT-PCR (Reverse Transcription – Polymerase Chain Reaction), yang dikenal masyarakat dengan sebutan swab PCR. Tes lain yang saat ini banyakdigunakan adalah rapid antigen. Tes ini mendeteksi antigen (protein virus) yang diambil dari spesimen swab nasofaring. Tes ini memiliki sensitivitas yang lebih rendah daripada PCR, yang berarti kemungkinan untuk menjaringkasus positif lebih rendah dibandingkan PCR.
Pertanyaan selanjutnya yang sering diajukan sekarang, apakah masih penting melakukan tes PCR saatini? Saat tes antigen bisa didapatkan dimana-mana dan saat sebagian penduduk sudah mendapatkan vaksinasi COVID-19. Tujuan dari vaksinasi COVID-19 adalah terbentuknya herd immunity atau kekebalan populasi. Vaksinasitidak memberikan perlindungan 100%, yang berarti seseorang yang sudah divaksinasi tetap mungkin terinfeksi, yang berarti juga tetap dapat menularkan. Dengan alas an itulah, vaksinasi tidak seharusnya mengubah upaya-upayapenanganan COVID-19 sebelum adanya vaksin. Upaya pencegahan berupa 3M (mencuci tangan, menggunakan masker, menjaga jarak) pun tetap harus dilaksanakan. Dengan alas an ini pula, jumlah tes COVID-19 tidakseharusnya berkurang dengan adanya vaksinasi.
Apabila upaya 3T seharusnya tetap berjalan seperti sebelum adanya vaksinasi, tes COVID-19 mana yang terbaik? Swab PCR, rapid antigen atau rapid antibodi? Ketiga tes ini memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing. PCR dengan spesimen swab nasofaring menjadi baku emas karena tingginya sensitivitas dan spesifisitas tesini, yang berarti hasil positif palsu dan negative palsu yang paling rendah dibandingkan kedua tes lainnya. Kelemahan PCR diantaranya adalah harga yang lebih mahal dan waktu tes yang cukup panjang. Pemerintah telah melakukanupaya untuk mengatasi kelemahan ini dengan member batas tarif maksimal dan menambah kapasitas tes P CR di berbagai daerah sehingga dapat mengurangi antrian sampel dan memperpendek waktu diterimanya hasil. Saat iniharga PCR sudah cukup terjangkau dan sudah banyak laboratorium yang mampu mengeluarkan hasil dalam waktu 24 jam bahkan kurang, terutama di kota-kota besar.
Swab antigen dapat digunakan sebagai alternative untuk penegakan diagnosis COVID-19 dengan beberapacatatan. Tes ini mendeteksi antigen (protein) virus yang didapatkan dari spesimen saluran nafas. Hal pertama yang harus menjadi perhatian adalah waktu pengambilan sampel. Rapid antigen paling mungkin memberi hasil positif pada saat jumlah virus paling banyak yaitu 1-3 hari sebelum munculnya gejala dan 5-7 hari pertama sejak munculnyagejala. Apabila sampel diambil di luar jangka waktu tersebut, kemungkinan dapat memberikan hasil negatif palsu. Sebagai konsekuensinya, hasil negative tidak menyingkirkan COVID-19 dan disarankan untuk pemeriksaan berulangatau konfirmasi dengan PCR apabila memungkinkan. Fakta lainnya yang mempengaruhi hasil rapid antigen adalahKualitas reagen. Apabila reagen yang digunakan tidak sesuai rekomendasi menyebabkan semakin banyak hasil yang tidak akurat. Kelemahan-kelemahan rapid antigen ini menyebabkan WHO hanya merekomendasikan penggunaan rapid antigen pada beberapa kondisi, di antaranya pada daerah yang tidak terjangkau PCR atau pemeriksaan PCR memakan waktu > 48 jam. Kesalahan dalam penggunaan rapid antigen yang harus dihindari adalah penggunaannyauntuk mengakhiri isolasi. Rapid antigen tidak dapat digunakan untuk mengakhiri masa isolasi pasien yang sebelumnya positif baik dengan rapid antigen maupun dengan PCR. (Sumber : Sars-Cov-2 antigen-detecting rapid diagnostic test an implementation guide)
Rapid antibodi sendiri, tidak direkomendasikan untuk menegakkan diagnosis COVID-19, terutama dalam masa vaksinasi dimana rapid antibodi dapat memberikan hasil positif setelah vaksinasi. Rapid antibodi mendeteksi responimun tubuh yaitu antibodi terhadap infeksi virus. Tes ini dapat memberikan hasil positif pada infeksi lampau, setelahvaksinasi maupun saat infeksi aktif. Karena alasan inilah rapid antibody tidak direkomendasikan untuk menegakkan diagnosis COVID-19.
dr. Sherly Purnamawaty, Sp.PK